Jumat, 08 Februari 2019

Pengamat: Jika Proyek Listrik 35.000 MW Jokowi Yang Mangkrak Diteruskan, Bisa Bebani PLN

Ilustrasi PLN. | magazine.job-like.com

Berly Martawardaya yang merupakan pengamat ekonomi energi Universitas Indonesia (UI)  mengungkapkan bahwa paket kebijakan program listrik 35.000 MW memang sedikit tertunda. Menurutnya target ambisius tersebut memang merupakan gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka meningkatkan kapasitas listrik terpasang. 

Presiden Jokowi memang sejak awal memasang target tinggi terkait pembangunan pembangkit listrik tersebut, tujuannya agar kapasitas listrik terus mengalami kenaikan meski belum rampung. Hal ini menurut Berly buah dari gaya kepemimpinan Jokowi dalam memompa semangat bawahannya demi mencapai target proyek pembangunan listrik. 

"Gaya Jokowi memang kasih target tinggi supaya anak buahnya semangat. Perbandingan yang lebih fair adalah dengan 4 tahun pertama SBY berapa GW kapasitas listrik bertambah," ujarnya saat dihubungi (7/2/2019).

Berly secara pribadi mengkritisi penambahan kapasitas listrik yang terus dibangun pemerintah dengan masih mengandalkan Batubara. Lantaran harganya relatif lebih rendah,  pemerintah tidak berpikir ke depan karena masih menggunakan energi batubara.

Menurutnya pemerintah seharusnya lebih mengandalkan listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Sebab jika pemerintah melakukan prioritas EBT, maka ada banyak hal yang bisa didapatkan karena ke depan akan lebih efisien dan ramah lingkungan. Selain itu harganya lebih stabil, efisien dan berkelanjutan.

"Saya sudah beberapa kali kritik penambahan kapasitas listrik yang didominasi batu bara dan minim EBT karena saat itu harga batu bara rendah. Nah sekarang pemerintah kesulitan karena harganya sedang naik," tambahnya. 

Disisi lain Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi juga mengatakan bahwa penundaan proyek listrik 35.000 MW disebabkan asumsi pertumbuhan ekonomi tidak terpenuhi. Sebab jika diteruskan maka berpotensi menyebabkan terjadinya over suplai pasokan listrik.

"Penundaan itu dikarenakan asumsi pertumbuhan 7 persen tidak terpenuhi. Kalau tidak justru akan menimbulkan over supply yang membebani PLN," jelasnya.


Sumber: AKURAT.CO

1 komentar: