Penyair dan Budayawan Sapardi Djoko Damono saat ditemui di depan Perpustakan Universitas Indonesia.
| AKURAT.CO/Herman Syahara
Prof Dr Sapardi Djoko Damono (SDD), pada Maret 2019 ini baru saja merayakan hari lahirnya yang ke-79. Pensiunan Guru Besar Universitas Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1940 dan telah menghasilkan sekurangnya 15 buku kumpulan sajak. Karya pertamanya antologi puisi berjudul Dukamu Abadi dan yang terbaru Tentang Gendis.
Beliau juga telah melahirkan sejumlah novel, esai, lakon drama, dan 1 manuskrip. Mungkin yang membuat penyair yang banyak disapa Eyang oleh fansnya ini berbeda dari banyak penyair sepuh lain, karya SDD bukan saja digemari orang dewasa, namun juga kalangan usia remaja belasan tahun yang sering disebut generasi milenial.
Dari beberapa acara peluncuran buku yang sempat AKURAT.CO hadiri di berbagai lokasi dan toko buku, pembeli buku SDD usia belasan tahun yang masih di sekolah lanjutan menengah pertama dan atas ini tampak rela membaur dalam antrian panjang di antara pembeli dewasa mahasiswa, karyawan, dan masyarakat umum, untuk meminta tanda tangan bukunya.
Bukan hanya itu, Puisi karya SDD pun banyak yang telah dialihwahanakan. Sebut misalnya karya fenomenal Hujan Bulan Juni yang telah ditulisnya dalam rupa puisi dan kemudian dijadikannya novel, telah memikat seorang produser untuk mengangkatnya ke film layar lebar.
“Sihir” puisi-puisi SDD juga telah memukau para calon pengantin. Mereka kerap menjadikan puisi yang berjudul Aku Ingin sebagai kutipan di sampul undangan mereka. Tak terhitung lagi musisi terkenal dan tak terkenal yang menjadikan puisinya sebagai syair berbagai genre musik.
Sapardi masih ingat bagaimana misalnya pianis Ananda Sukarlan mengirim pesan melalui gawainya dan mengatakan kagum pada puisi-puisinya dan ingin menjadikannya sebagai syair musiknya.
“Pianis Ananda Sukarlan suatu hari tiba-tiba mengirimi saya WhatsApp: ‘Pak Sapardi mohon maaf baru sekarang saya tahu ada penyair besar seperti Pak Sapardi.’ Waduh, edan, saya dibilang penyair besar,” tutur SDD setengah berkelakar, dalam sesi tanya jawab pada suatu acara peluncuran kumpulan cerpen Sepasang Sepatu Tua, di Ruang Apung, Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, pertengahan Maret lalu.
Menurut cerita SDD, lewat WhatsApp itu Ananda minta ijin apakah boleh menjadikan puisi-puisinya sebagai syair musiknya. SDD mempersilakan. Lalu Ananda bertanya lagi, bagaimana tatacaranya. “Saya bilang, puisi itu bagi saya, begitu selesai ditulis menjadi milik Anda. Mau Anda apa-apakan terserah,” terang SDD.
Menurut SDD, Ananda Sukarlan telah menggubah lagu seriosa dengan menggunakan lebih dari 70 puisinya. Namun SDD ikhlas meskipun tidak mendapat sepeserpun, yang menurut dugaan SDD ada yang telah dibuat CD lalu dipasarkan.
“Dulu setiap Tahun Baru dia menggelar konser dan semalaman hanya membawakan lagu saya. Mungkin dia jual lewat CD, (saya) tidak pernah mendapat apa-apa sepeserpun. Saya ikhlas,” kilah SDD.
Sampai sekarang, lanjtu SDD, banyak yang terus mengalihwahanakan puisi-puisinya ke dalam musik. Utamanya dilakukan oleh anak-anak muda. Ananda Sukarlan mungkin masih bagus minta ijin. Karena, menurut SDD, “yang tidak minta ijin minta ampun banyaknya.”
Di antara sejumlah musisi yang telah menampilkan puisinya dalam bentuk musik, SDD memuji penampilan duet Ari (almahrum) dan Reda yang telah banyak menciptakan lagu dari puisi-puisinya.
“Ari sudah meninggal. Dia seorang pemain gitar yang piawai sekali, dan Reda seorang penyanyi yang bagus sekali,” puji pensiunan Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Kenapa penggemar SDD bisa datang dari berbagai kalangan usia serta ada yang tertaik mengalihwahanakannya? Penyair yang antara lain pernah meraih Anugerah Kebudayaan dari Ubud Writers & Reader (2018) dan Habibie Center (2016) itu, menjawab dengan mengutip pendapat pembacanya, ”mungkin orang mengatakan saya menggunakan kata-kata yang sederhana. Yang bisa dipahami orang.”
Padahal, sambung SDD, kalau orang bertanya misalnya apa maksud puisi Hujan Bulan Juni, dia sendiri tak akan bisa menjawabnya.
“Iki opo aku yo ora mudheng, saya sendiri ora mudheng (tidak paham, red). Tapi karena orang senang, ya dijadikan film,” cetus pengajar dan pembimbing tesis dan disertasi mahasiswa pascasarjana di IKJ, UI, Undip, dan ISI Surakarta ini merendah.
Penerbit Gramedia telah mereproduksi atau mencetak ulang buku-buku lama SDD dengan perwajahan baru. Antara lain Hujan Bulan Juni, Melipat Jarak, Babad Batu, Duka-Mu Abadi, Ayat-Ayat Api, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro, Kolam, Namaku Sita, Sutradara itu Menghapus Dialog Kita, Perahu Kertas, dan Perihal Gendis.
Di luar buku puisi, karya SDD yang telah diterbitkan adalah Trilogi Soekram, Hujan Bulan Juni, Pingkan Melipat Jarak (sekuel kedua novel Hujan Bulan Juni), dan Yang Fana adalah Waktu (sekuel ketiga novel Hujan Bulan Juni), serta buku non-fiksi Bilang Begini Maksudnya Begitu, dan Alih Wahana.
Berikut adalah puisi fenomenal SDD yang kerap dijadikan “pemanis” dalam dalam sampul surat undangan para calon pengantin:
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada